INFOBORNEO, Palangka Raya – Evaluasi performa BPJS Kesehatan dalam mengimplementasikan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), khususnya di Kalimantan Tengah, kembali jadi sorotan. Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah VIII, Anurman Huda menuturkan bahwa berdasarkan total biaya layanan kesehatan, penyakit gagal ginjal menyerap biaya paling besar, disusul oleh penyakit jantung dan stroke.
“Dari total pembiayaan terhadap pelayanan kesehatan, pembiayaan tertinggi masih didominasi oleh penyakit gagal ginjal yaitu sebesar 28,8 miliar rupiah, kemudian berikutnya adalah penyakit jantung dengan biaya sebesar 28,2 miliar rupiah, dan penyakit stroke sebesar 13,4 miliar rupiah. Data ini menjadi refleksi bagi kita semua bahwa penanganan penyakit katastropik ini harus menjadi prioritas bersama. Upaya promotif dan preventif perlu terus diperkuat tidak hanya melalui sistem pembiayaan, tetapi juga melalui kolaborasi lintas sektor,” ungkap Anurman dalam forum koordinasi kemitraan bersama dengan fasilitas kesehatan dan para pemangku kepentingan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah belum lama ini.
Bertempat di Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Sugiyarto menegaskan dukungannya terhadap keberlangsungan Program JKN melalui penganggaran dan pengawasan. Ia menilai forum kemitraan ini penting untuk menyerap masukan dari mitra layanan agar kebijakan lebih tepat sasaran, serta mendorong penguatan pelayanan promotif dan preventif guna menekan pembiayaan penyakit katastropik yang ada di daerah.
“Kami di DPRD Provinsi Kalimantan Tengah akan terus mengawal dan mendukung keberlangsungan Program JKN, baik dari sisi penganggaran maupun pengawasan. Forum bisa menjadi ruang strategis untuk menyerap masukan dari rumah sakit dan mitra pelayanan lainnya, agar kebijakan yang dibuat benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kami juga mendorong agar pelayanan kesehatan dimaksimalkan, terutama pada aspek promotif dan preventif,” katanya.
Menurut Sugiyanto, berbagai upaya ini sangat penting dalam menurunkan angka pembiayaan penyakit berbiaya katastropik yang selama ini cukup tinggi, seperti gagal ginjal, jantung, dan stroke. Sinergi semua pihak adalah kunci agar pelayanan yang diberikan tidak hanya efisien, tapi juga benar-benar berdampak bagi masyarakat.
Sementara itu, Staf Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, Hamka menyatakan bahwa tingginya pembiayaan penyakit katastropik di Kalimantan Tengah pada pertengahan tahun 2025 ini menjadi pengingat perlunya penguatan upaya promotif dan preventif secara serius. Ia menekankan bahwa pelayanan kesehatan yang optimal tidak dapat disandarkan pada satu lembaga saja.
“Tingginya pembiayaan penyakit berbiaya katastropik ini menjadi pengingat bahwa kita harus lebih serius memperkuat upaya promotif dan preventif. Tentunya upaya tersebut tidak bisa hanya mengandalkan satu institusi. Kita perlu membangun kolaborasi yang erat antara pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, rumah sakit dan bahkan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) selaku garda terdepan penyelenggaraan upaya promotif dan preventif. Sinergi dan komunikasi terbuka adalah kunci untuk menciptakan sistem kesehatan yang berkelanjutan dan masyarakat yang lebih sehat,” ujar Hamka.(Redaksi)