Oleh : H. Muhamad Asran Dirun, S.Ag, M.Pd
Penulis adalah Guru Madrasah, dan Ketua PGMNI Kota Palangka Raya
INFOBORNEO, Palangka Raya – Sejak diluncurkannya Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar di Asrama Haji Sudiang Makassar, (24/7/2025) yang dituangkan ke dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025 tentang panduan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), maka sejak saat itu semua lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama mulai Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) sudah menggunakan kurikulum tersebut.
Representasi dari KBC di madrasah mewujudkan generasi madrasah yang beriman, berilmu, berakhlak mulia, dan berkarakter cinta. Wujud nyata dari cinta tersebut meliputi Cinta Kepada Allah dan Rasul-Nya, Cinta Kepada Diri Sendiri, Cinta Kepada Sesama, Cinta Kepada Lingkungan dan Cinta Kepada Bangsa dan Negara.
Sejarah Islam mencatat bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW pertama kali adalah menanamkan sikap tauhid kepada Allah SWT, yaitu hanya menyembah kepada Allah. SWT. Sementara terkait karakter, Nabi sampaikan melalui sikap dan tingkah laku sehari-hari.
Orang yang beriman dan menyembah kepada Allah SWT, lambat laun akan tumbuh rasa cintanya kepada Allah dan ciptaan-Nya. Sehingga apabila seseorang sudah menyatakan diri cinta kepada Allah, tentu ia tidak akan menyakiti orang lain dan makhluk ciptaan-Nya.
Dengan cintanya, Nabi Muhammad setiap hari menyuapi seorang Yahudi buta yang mencaci makinya, dengan cintanya Nabi menengok wanita Yahudi yang sakit, sambil membawa makanan di mana wanita tersebut suka melempari dan menghina Nabi, dengan cintanya Nabi mendoakan penduduk Thaif yang menolak dakwah Nabi.
Ajaran cinta ini memberikan inspirasi kepada para sahabat dan ulama Sufi. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib “Barang siapa mencintai sesuatu, maka ia akan banyak menyebutnya”. Cinta sejati kepada Allah dan Rasul terlihat dari lisannya yang senantiasa berzikir dan bershalawat.
Perkataan Abu Bakar Ash Shiddiq “Siapa yang merasakan manisnya cinta Allah, maka ia tidak akan pernah berpaling kepada selain-Nya”. Cinta kepada Allah membuat hati tidak mudah tergoda oleh dunia. Rabi’ah Al-Adawiyah : “Aku mencintai-Mu bukan karena takut pada neraka-Mu, bukan pula karena mengharap surga-Mu, tetapi aku mencintai-Mu karena Engkau layak dicintai.”
Sedangkan Jalaluddin Rumi dalam qaulnya “Cinta adalah jembatan antara dirimu dan segala sesuatu.”, Imam Al-Ghazali “Puncak cinta kepada Allah adalah ridha dengan segala ketentuan-Nya.” Cinta tidak hanya berupa pujian, tetapi juga kesabaran dan penerimaan atas takdir.
Sejalan dengan konsep di atas, Carl Rogers dalam Teori Humanistiknya menekankan potensi setiap individu untuk mencapai aktualisasi diri melalui penerimaan tanpa syarat, empati, dan keaslian dalam hubungan interpersonal.
Ia percaya bahwa setiap individu memiliki dorongan bawaan untuk tumbuh dan mengembangkan potensi diri atau disebut dengan aktualisasi diri (self actualization). Dalam pengaktualisasian diri tersebut murid perlu memahami konsep diri, di mana persepsi dan keyakinan tentang diri sendiri, yaitu diri nyata apa adanya dan diri ideal, yaitu apa yang diinginkan.
Keinginan dari seseorang untuk mengaktualisasikan diri tersebut akan bersinggungan dengan di mana ia bersekolah dan bertempat tinggal. Upaya guru dalam hal ini harus memberikan penghargaan dan penerimaan penuh kepada murid tanpa menghakimi, merendahkan, menghina dan memvonis murid bodoh.
Guru berperan sebagai fasilitator untuk membantu murid menemukan motivasi belajar dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka. Guru harus mampu memahami murid secara mendalam, seolah-olah guru telah menjadi diri mereka sendiri. Guru bertindak secara autentik dan jujur dalam hubungan yang memungkinkan terciptanya lingkungan yang nyaman dan berkesan.
Teori lain dari Ki hadjar Dewantara dengan saling Asih, Asuh dan Asah mengedepankan pendidikan yang holistik yang terintegrasi. Guru menuntun murid untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan tertinggi dalam hidupnya. Di mana guru memposisikan dirinya sebagai pemberi teladan ((Ing Ngarsa Sung Tuladha), membangun ide dan gagasan sebagai fasilitator, motivator, mediator (Ing Madya Mangun Karsa), dan Tut Wuri Handayani, yaitu guru dari belakang memberikan dorongan dan arahan kepada murid agar tidak keluar dari jalurnya.
Upaya pemerintah dalam KBC menurut penulis tidak perlu menetapkan metode dan media apa yang digunakan guru. Guru tidak harus menggunakan metode dan pendekatan yang ditetapkan pemerintah dalam panduan dan peraturannya. Karena guru sudah dibekali pemahaman paedagogi, psikologi dan ilmu lain ketika di perguruan tinggi. Guru lebih tahu dan memahami kondisi muridnya, madrasahnya dan orang di sekitarnya. Jadi biarkan guru berekspresi, berkreasi mengelola model pembelajarannya sendiri.
Dengan demikian, guru tidak terlalu disibukan dengan pembuatan administrasi yang ditetapkan pemerintah, sehingga ia akan fokus dalam mengajar, membimbing, dan membentuk karakter murid.
Pencideraan ucapan beberapa menteri terhadap profesi guru yang mengatakan guru adalah beban negara, dan kalau mau mencari duit jangan menjadi guru, maka hal tersebut sudah merendahkan profesionalitas seorang guru, dan bahkan bertolak belakang dengan KBC yang sudah digaungkan.
Guru sejatinya adalah sebuah profesi yang memiliki keahlian tertentu, sama seperti dokter. Maka ia patut mendapatkan gaji yang tinggi dengan fasilitas yang memadai, sehingga guru tidak perlu mencari tambahan penghasilan lain di luar sana, dan fokus kepada murid.
Sebagai representasi dari KBC ini, mari kita hadirkan cinta dalam seluruh mata pelajaran (integratif), holistik (berpusat pada kognitif, afektif, psikomotor), humanis (menghargai potensi dan keragaman murid, ekologis (menjadikan lingkungan dan teknologi sebagai bagian dari pembelajaran), dan kebangsaan (menguatkan identitas keislaman dan keindonesiaan).(Redaksi)