INFOBORNEO, Palangka Raya-Terbitnya sertipikat ganda pada bidang tanah yang sama, seperti dialami warga Jl. Hiu Putih VIII, tentu tidak boleh terjadi, karena kualitas sistem administrasi jajaran Kementerian ATR/BPN di seluruh Indonesia seharusnya tidak perlu diragukan lagi, mengingat (sebelum diterima bekerja di ATR/BPN) para “tenaga ahli” pertanahan telah dididik & digembleng secara formal di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) yaitu sekolah kedinasan milik Kementerian ATR/BPN yang berlokasi di Yogyakarta, berdiri sejak tahun 1963.
Sejatinya, sebuah sertipikat pada bidang tanah yang diterbitkan oleh BPN dapat dianalogikan sebagai sebuah BPKB kendaraan bermotor yang dikeluarkan oleh Kepolisian, yang mana (jika terjadi) penerbitan BPKB ganda atas kendaraan yang sama, adalah keteledoran yang sangat fatal (demikian pula halnya jika terjadi penerbitan sertipikat ganda)
“Saya menduga kekeliruan/kesalahan/keteledoran yang terjadi adalah disebabkan oleh beberapa hal yang diduga dapat “mempengaruhi” cara kerja personil serta sistem kerja yang berlaku pada kantor ATR/BPN setempat,” kata Kader Partai Solidaritas Indonesia dan Wakil Ketua DPW PSI Kalteng, Eldoniel Mahar pada Rabu, 1 Maret 2023.
Pertama, adalah faktor yang sangat umum terjadi, yaitu mental & perilaku “nakal” oknum pertanahan yang bekerja melanggar sistem dan ketentuan sehingga menghasilkan produk administrasi yang cacat alias tidak semestinya.
Contoh kasusnya adalah penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) tahun 2015 di atas tanah yang telah lebih dulu memiliki Sertipikat Hak Milik (SHM) terbitan tahun 1986, yang mana pada kedua sertipikat tercantum tanda tangan dan nama pejabat BPN yang sama – pada tahun 2015 pejabat tsb. menyatakan sebuah SHM telah “clear” diperiksa di kantor BPN setempat, kemudian setelah itu ybs menandatangani penerbitan SHGB di atas tanah SHM yang sebelumnya telah dia nyatakan “clear” tersebut, sehingga akhirnya timbul/ (?mengakibatkan tumpang tindih sertipikat di atas bidang tanah yang sama.
Kedua, adalah faktor psikokultural, akibat kerusuhan pertikaian antar etnis beberapa tahun lalu, yang nampaknya dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk “memaksa” insan pertanahan bekerja di luar sistem yang seharusnya.
Contoh kasus:
Adanya kecenderungan mengatas namakan adat atas tanah yang tidak ada hubungannya dengan budaya adat setempat dan “hak adat abal abal” ini dimanfaatkan oknum tertentu untuk memblokir kerja BPN dalam hal menerbitkan peta bidang yang dimohonkan oleh warga, sebagaimana terjadi di bilangan Jl. Cilik Riwut km 8 pada tahun 2021 lalu.
Ketiga, adalah faktor psikologi kekuasaan, dimana oknum instansi yang memiliki lingkup kewenangan luas “menekan” pihak ATR/BPN (untuk melakukan sesuatu di luar sistem aturan yg berlaku) demi mencapai tujuan tertentu.
Contoh kasus:
Terjadi tahun 2017 – 2019 silam, dimana sebuah permohonan peta bidang di jalan Mahir Mahar yang tak kunjung dilaksanakan oleh pihak BPN (tanpa alasan apapun) meski telah disurati berulangkali – ujung2nya malah si pemohon dipanggil aparat instansi tertentu dengan alasan yang kurang tepat, terkait bidang tanah yang dimohonkan tsb.
“Untuk mengatasi tekanan psikologis seperti ini BPN tentu tidak dapat bekerja sendiri, diperlukan forum komunikasi, koordinasi & kerjasama yg intens dengan instansi (lembaga) terkait dan masyarakat sebagai pengguna jasa BPN,” katanya lagi.
Mengingat (apapun alasannya), menurut Eldon, penerbitan sertipikat ganda adalah hal yang tak dapat dibenarkan karena hal tsb mengakibatkan Rasa tidak aman & tidak nyaman bagi warga pemegang sertipikat (karena tidak jadi jaminan tanahnya telah aman).
Memiliki potensi konflik horisontal di antara masyarakat (pemegang sertipikat ganda), serta pelanggaran hukum perdata yang bisa menyengsarakan warga (bayangkan jika sengketa tanah bersertipikat ganda dialami oleh masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki sumber daya untuk mempertahankan haknya di pengadilan perdata).
“Sebagaimana pernah diutarakan di media, forum ini bisa dimulai dengan membentuk posko pengaduan bersama (dengan melibatkan satgas mafia tanah) agar dapat menampung keluhan masyarakat, menggali akar masalah, serta mencari solusinya – terlebih lagi – maraknya sengketa tanah di Kalimantan Tengah (terbanyak di Palangka Raya) telah menjadi sorotan pusat seperti diungkapkan oleh Sekda Kalteng beberapa waktu lalu,” tutupnya.(Redaksi)